Lhoksukon – Berita tentang istri korban penganiayaan di Aceh Utara, Ita, meminta pelaku yang menganiaya suaminya, Saiful Abdullah, dihukum berat, paling terpopuler pekan ini. Korban diduga meninggal dunia usai ditangkap aparat kepolisian setempat.
“Kami berharap ada keadilan, apalagi anak kami ada lima, satu masih kecil, pelaku harus dihukum berat,” kata Ita kepada Ajnn, Ahad lalu.
Jika memang suaminya dituduh memiliki narkotika jenis sabu, Ita tidak menerima jika harus dianiaya hingga meninggal dunia. Indonesia negara hukum, semua harus dijalankan sesuai dengan ketentuan hukum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Ita, suaminya meninggal dengan kondisi tidak wajar. Karena ditemukan lebam di bagian badan, mengeluarkan darah di telinga, dan korban mengeluh sakit di dada.
Kasus ini sedang ditangani Paminal Bidang Profesi dan Pengamanan (Bid Propam) Kepolisian Daerah Aceh. “Kita tunggu hasil investigasi resmi dari Paminal. Saat ini petugas sudah turun ke Aceh Utara,” kata Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Joko Krisdiyanto, Ahad lalu.
Ia menyampaikan pihaknya berkomitmen menindak tegas apabila ditemukan adanya pelanggaran, baik secara pidana maupun kode etik yang dilakukan personel dalam bertugas.
“Kami akan transparan terkait kasus ini. Jika hasil investigasi menyatakan adanya ketidakprofesionalan atau kesalahan dalam bertugas, maka diproses sesuai aturan berlaku,” ujarnya.
Berita kedua paling banyak dibaca tentang Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan menjatuhkan vonis mati kepada terdakwa Hanisah alias Nisa (39), Rabu lalu. Dia adalah perempuan yang dijuluki Ratu Narkoba asal Aceh.
Selain terdakwa Hanisah alias Nisa, majelis hakim juga menjatuhkan hukuman mati terhadap terdakwa lainnya yakni Al Riza alias Riza Amir Aziz (29) warga Desa Blang Mee, Kecamatan Kutablang, Kabupaten Bireuen, Aceh; Maimun alias Bang Mun (54) warga Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen, Aceh.
“Menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa Hanisah alias Nisa, Al Riza alias Riza Amir Aziz dan Maimun alias Bang Mun dengan hukuman masing-masing pidana mati,” ujar majelis hakim yang diketuai Abdul Hadi Nasution di Ruang Cakra V, PN Medan.
Sementara tiga terdakwa lainnya yakni Nasrullah alias Nasrul Bin Yunus (33) warga Dusun Bungong, Kabupaten Bireuen; Hamzah alias Andah Bin Zakaria (31) warga Desa Teupin Rusep, Kabupaten Aceh Utara; dan Mustafa alias Pak Muis (55) warga Kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan, masing-masing dipidana penjara seumur hidup.
Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan hal yang memberatkan keenam terdakwa karena tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas narkotika. Hal yang meringankan para terdakwa tidak ditemukan.
Majelis hakim menilai perbuatan keenam terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 114 ayat (2) Jo Pasal 132 ayat (1) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Sementara berita paling banyak pembaca ketiga ialah editorial berjudul Anomali Bank Aceh. Di mana pada 2023 menjadi tahun yang istimewa bagi Bank Aceh.
Bank plat merah milik rakyat Aceh ini, seperti disampaikan Sekretariat Perusahaan Bank Aceh, Teuku Zulfikar, tumbuh positif. Hal ini membuat seluruh pemerintah daerah, baik kabupaten ataupun kota, di Aceh mendapatkan pembagian dividen sebesar Rp 296 miliar.
Pada 2023, Bank Aceh mencatatkan laba sebesar Rp 575,5 miliar. Bank ini juga mengelola rasio kecukupan permodalan atau Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) pada level sehat, yakni mencapai 22,7 persen pada Desember 2023.
Berdasarkan laporan keuangan tahun buku 2023, Bank Aceh mencatatkan laba total aset Rp 30,4 triliun atau naik 5,92 persen. Di saat yang sama, realisasi pembiayaan 2023 mencapai Rp 18,6 triliun. Angka ini menunjukkan pertumbuhan 7,81 persen dibanding tahun sebelumnya, yakni Rp 17,3 triliun. Sementara dana pihak ketiga tercatat mencapai Rp 24,4 triliun
Namun semua pencapaian itu tidak membuat posisi Muhammad Syah selaku Direktur Bank Aceh dipertahankan. Muhammad Syah hanya bisa membaca kabar tentang pembagian deviden yang seharusnya dia lakukan karena tahun ini, 2024, dia tak lagi menjabat sebagai direktur.
Adalah Penjabat Gubernur Aceh, Bustami Hamzah, yang mencopot Muhammad Syah yang seharusnya menjabat sebagai direktur hingga 2027. Tindakan ini berbanding terbalik dengan pencapaian Bank Aceh selama setahun memimpin bank itu.
Pergantian mendadak di puncak manajemen perbankan memang bukan barang haram. Apalagi saat komisaris bank mendapati kinerja perbankan yang tidak memuaskan. Pergantian puncak manajemen menjadi hal yang wajar untuk menjaga tingkat kepercayaan publik (nasabah).
Hingga saat ini, penjabat gubernur, sebagai pemegang saham pengendali Bank Aceh, tidak memberikan keterangan pasti ihwal pergantian mendadak itu. Dia hanya berkata, itu urusan internal. Publik hanya bisa menebak-nebak alasan Bustami. Dan yang jelas, pergantian itu bukan berlandasankan profesionalime.
Pergantian Muhammad Syah ini menunjukkan urusan politik dapat dengan mudah mengobok-obok Bank Aceh. Lebih jauh lagi, keputusan tersebut menunjukkan bahwa bank ini dapat dikelola sesuka hati penguasa. Ada banyak nilai moral yang dilabrak. Meski memang, sekali lagi, pergantian direksi, meski mendadak, tidak diharamkan. (*)