Banda Aceh, – Badan Reintegrasi Aceh (BRA) menggelar peringatan Hari Damai Aceh (HDA) MoU Helsinki ke-19 di Taman Bustanussalatin (Taman Sari) Banda Aceh, Kamis (15/8).
HDA merupakan buah dari kesepakatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia (RI) yang mengakhiri perang bersenjata dan menandatangani kesepakatan damai pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
Sejak penandatanganan kesepakatan, kini usia perdamaian Aceh genap berumur 19 tahun dan saban tahun setiap 15 Agustus diperingati secara bersama-sama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pantauan haba aceh peringatan Hari Damai Aceh ke-19 yang mengusung tema “Hari Damai Aceh Sebagai Bingkai Perdamaian Dunia” itu berlangsung khidmat.
Namun sayangnya sejumlah tokoh penting Aceh seperti Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al-Haytar, Ketua Komite Peralihan (KPA) pusat Muzakir Manaf, Pj Gubernur Aceh Bustami Hamzah, hingga Ketua DPR Aceh tidak hadir dalam peringatan tersebut.
Selain itu, sejumlah kursi Ketua DPR Kabupaten/Kota se Aceh juga tampak kosong pada peringatan tahunan tersebut.
Kepala Sekretariat BRA, Darmansah, mengatakan kegiatan itu dilaksanakan berdasarkan penandatangan nota kesepahaman antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia (RI) tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki.
“Dasar berikutnya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Dasar berikutnya adalah Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Badan Reintegrasi Aceh,” katanya.
Selain itu, Darmansah menyebut kegiatan tahunan itu bersumber dari dana Otonomi Khusus (Otsus) yang ditetapkan di Badan Reintegrasi Aceh.
“Sumber dana Otsus ini merupakan hal yang sangat baik, mudah-mudahan sumber dana ini dapat terus berkesinambungan agar tersambungnya damai ini sampai anak cucu,” sebutnya.
Sebelumnya diberitakan tahun lalu Sudah 18 Tahun MoU Helsinki, Tapi Pemprov Aceh Belum Miliki Naskah Aslinya, seperti dikutip Media Indonesia.
18 tahun sudah perjanjian damai (MoU) antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) – Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005.
Perjanjian menghentikan lembaran perang bersenjata tersebut ditanda tangani oleh Menteri Hukum dan HAM 2004-2009 Hamid Awaluddin mewakili RI – Malik Mahmud Al Haytar atas nama GAM. Martti Oiva Kalevi Ahtisaari, mantan presiden Finlandia juga membubuhkan tanda tangan atas nama CMI (Crisis Management Initiative) sebagai mediator.
Anehnya, meski 18 tahun sudah berlalu, tapi naskah asli perjajian damai RI-GAM itu disebut-sebut tidak dimiliki pemerintah Aceh. Tidak diketahui dimana keberadaan satu eksemplar naskah yang berhak disimpan Pemerintah Aceh dengan sempurna dan mudah dilihat oleh publik setempat.
Padahal sesuai penelusuran Media Indonesia, naskah asli yang sering disebut MoU Helsinki itu ada tiga eksemplar saat penandatanganan bersama pada Senin, 15 Agustus 2005 di gedung Smolna Goverment Banquet Hall, Helsinki, Finlandia.
Setelah penantanganan masing-masing diserahkan kepada perwakilan RI, Perwakilan GAM dan satu lagi sebagai arsip CMI sebagai pihak mediator.
Lemah dalam arsip sejarah
Farhan Hamid, tokoh Aceh yang ikut hadir saat penantanganan MoU tersebut, kepada Media Indonesia mengatakan, naskah asli perjanjian RI-GAM itu lembaran negara yang harus didokumentasikan oleh pihak-pihak yang terkait langsung dengan perdamaian. Apalagi itu terkait perjanjian damai untuk mengakhir konflik bersenjata.
Dengan adanya dokumen sejarah itu, tentu bisa menjadi pegangan maing-masing pihak. Lalu terpelihara setiap kesepakatan selama perundingan Helsinki. Karena kesepakan perdamaian itu adalah sejarah Aceh dan sejarah Indonesia, bahkan termasuk catatan sejarah dunia internasional yang pernah terselenggara dengan baik.
“Jangan sampai naskah asli itu hilang tidak diketahui kemana. Kita memang lemah sekali dalam hal arsip sejarah,” ujar Farhan Hamid yang juga mantan anggota DPR RI asal Aceh itu.
Farhan mengaku, ikut menyaksikan langsung proses perdamaian Helsinki itu. Dia memastikan ada tiga eksemplar naskah asli itu yang masing-masing diserahkan kepada para pihak dan satu lagi untuk Martti Ahtisaari.
“Saya juga melihat ditanda tangani bersama oleh dua pihak dan juga ikut mediator Martti Ahtisaari. Saat keluar gedung, mereka membawa naskah perjanjian. Kalau kini tidak diketahui keberadaan oleh para pihak, sayang sekali. Bukankah itu (seharusnya) dibawa pulang?”
Naskah asli MoU Helsinki harus ditemukan
Anggota DPR RI asal Aceh, Nasir Djamil meminta agar pemerintah Aceh atau pihak terlait lainnya mencari keberadaan naskan asli perjanjian damai itu.
Dikatakan Nasir Djamil, bukan saja naskan perjanjian tapi seluruh percakapan dalam proses dialog hingga tercapai kesepakatan perdamaian perlu didokumentasikan. Baik itu tulisan gambar, rekaman suara, rekaman video harus diarsipkan.
Ia mengaku sudah berulangkali mengingatkan supaya semua bukti perdamaian itu adalah sejarah yang harus didokumentasi dan diarsipkan dengan bagus. Apalagi, masih banyak saksi dan pelaku yang masih hidup.
Kemenkum dan HAM perlu membentuk tim mencari dan mengumpulkan semua pembicaraa terkait proses perdamaian” tutur Nasir Djamil.
Hal senada juga dikatakan Muhammad Nazar Ketua SIRA (Sentral Referendum Aceh), bahwa lembaran perjanjian itu adalah sangat penting sebagai bukti adanya perjanjia damai Aceh. Walaupun banyak orang mengetahui isi perdamaian RI-GAM, tapi tidak boleh naskah itu terabaikan dan tidak tersimpan dengan baik.
Pemprov Aceh cuma kantongi naskah yang dilegalisir
Sedangkan Mantan Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Aceh, Zulkifli M Ali, mengaku tidak mengetahui dimana naskah MoU Helsinki itu berada. Pihaknya pada tahun 2017 hanya sempat mencari di Kantor Arsip Nasional Indonesia (ANRI).
Saat itu pihaknya melihat satu eksemplar naskah asli yang dimiliki pemerintah RI. Sedangkan satu lagi yang berhak dimiliki GAM tentu tidak ada di situ.
Karena itu Zulkifli hanya berhasi berhasil mendapat naskah foto copy yang terlegalisir ANRI, bahwa lembaran itu sesuai dengan aslinya.
“Sebagai bukti sejarah kita bawa pulang naskah foto copy itu. Kemudian kita simpan di kantor kearsip dan perpustakaan Aceh” tambah Zulkifli.
MoU Helsinki
————————————
Fasilitator Perundingan:
Mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari selaku Ketua Crisis Management Initiative (CMI).
–
Lokasi Perundingan:
Perkebunan Koeningstedt di luar Helsinki.
–
Kesepakatan Perundingan RI-GAM:
-Sistem pemerintahan di Aceh bidang ekonomi, penegakan hukum, dan
proses integrasi.
-Partisipasi politik yang memuat hak-hak individual mencalonkan
diri pada pemilihan kepala daerah.
-Pelaksanaan HAM.
-Pemberian amnesti.
-Penyatuan kembali GAM ke dalam masyarakat.
-Pengaturan keamanan dan perdebatan wilayah.
-Pendirian misi pengawasan Aceh untuk memeriksa kemajuan
-250 orang dari Uni Eropa
-100 orang dari negara ASEAN.
-Pemerintah bersedia mengubah aturan yang melarang pembentukan
partai politik lokal dalam waktu 18 bulan.
-Penarikan 50 ribu prajurit TNI dan Brimob di Aceh.
-Penyerahan senjata 5.000 anggota GAM.
——————————————–
Sumber : Tim Media diolah oleh Litbang MI. (Z-4)
(*)